Just wanna share with you all..
Belum Terlambat untuk Pulang
Diceritakan kembali oleh : Novizar Tirta
Seorang gadis muda tumbuh remaja di perkebunan bunga tidak jauh dari kota Magelang, Jawa Tengah. Bagi gadis ini, orang tuanya kolot sekali; cenderung bereaksi berlebihan mengenai teman-teman sepergaulannya, musik yang ia dengarkan dan rok mininya. Mereka menghukum dia beberapa kali, dan si gadis memendam kejengkelan di hatinya terhadap orang tuanya, terutama si Ayah.
“Aku benci Ayah!!” teriaknya, ketika si Ayah mengetuk pintu kamarnya setelah sebuah pertengkaran. Dan malam itu juga, ia menjalankan rencana yang sudah dipikirkannya berpuluh kali. Ia ingin melarikan diri…. Meninggalkan keluarganya, kampungnya, hidupnya yang ia kenal selama ini….. menuju sebuah kota besar; yaitu Jakarta .
Ia belum pernah ke Jakarta sebelumnya, tetapi berita-berita tentang semarak Ibukota Negara itu telah sungguh-sungguh menarik minat dia untuk datang dan melihat sendiri kota itu. Lagipula, berhubung koran-koran di kampung halamannya juga sering memberitakan tentang kerusuhan, demonstrasi, obat terlarang, kriminalitas dan kekerasan di Jakarta dengan sangat rinci, ia menyimpulkan pasti orang tuanya tidak akan mencari dia ke sana . Selain itu, ia juga yakin bahwa orangtuanya akan merasa ia terlalu muda untuk kabur sejauh itu. Ke Semarang mungkin atau Surabaya atau Yogya, tapi bukan Jakarta .
Pada hari ke dua di Jakarta , ia bertemu seorang pria yang mengemudikan mobil paling mewah yang pernah dilihatnya. Dan pria itu menawarkan pertolongan yang tidak mungkin ditolak; membelikan makan siang dan mengatur agar ia punya tempat untuk tinggal. Setelah mengajak gadis itu melewati perjalanan yang menakjubkan di tengah–tengah hutan beton kota Jakarta , pria itu memberi si gadis beberapa pil yang membuatnya “belum pernah merasa senikmat itu.” Ternyata ia memang benar, pikir gadis itu, orangtuanya selama ini cuma melarang dia menikmati segala kesenangan, tanpa alasan.
Kehidupan menyenangkan berlanjut satu bulan, dua bulan, setahun, hingga dua tahun. Orang bermobil mewah itu, yang ia panggil “bos,” mengajarinya “beberapa hal” yang disukai pria. Dan karena ia masih di bawah umur, pria membayar mahal untuk “pelayanan” yang diberikannya. Dengan uang di tangan dan tinggal di apartment mewah, hanya sesekali saja ia bisa teringat pada orang-orang di kampung halamannya. Namun hidup mereka sekarang kelihatan sangat membosankan dan kampungan di mata si gadis, sampai-sampai ia hampir tidak percaya bahwa dirinya pernah hidup dan tumbuh di sana .
Ia sedikit takut ketika melihat fotonya di halaman sebuah koran dengan judul “Apakah anda pernah melihat anak ini?” Rupanya ayah telah memasang iklan orang hilang dan memasang foto terakhir dirinya pada beberapa harian yang terbit di kota besar. Tapi sekarang penampilannya sudah jauh berubah, rambutnya panjang dan telah dicat pirang, pakaiannya terbuat dari bahan yang tidak akan dipakai oleh anak sebayanya di kampung, dan dengan semua rias wajah dan perhiasan yang ia kenakan, tidak akan ada yang menyangka bahwa sebenarnya ia masih kanak-kanak.
Setelah dua tahun, tanda-tanda terjangkitnya penyakit mulai muncul, dan ia terkejut melihat betapa cepatnya bos berubah menjadi kejam. “Zaman sekarang kita tidak bisa main-main!” geram si bos, dan tiba-tiba saja, ia sudah berada di jalanan tanpa uang di kantungnya. Si bos telah mengusir dia.
Meskipun demikian ia masih melakukan pekerjaannya – menjual tubuh mungilnya pada laki-laki iseng – beberapa kali semalam. Tapi tanpa dukungan si bos, bayaran mereka kecil, dan semua uang itu habis untuk membiayai kecanduannya pada obat-obatan.
Pada suatu malam yang agak dingin, ia menemukan dirinya tidur merapat ke pagar logam di depan pusat pertokoan. “Tidur” adalah kata yang kurang tepat, gadis remaja di tengah kota Jakarta malam hari dan tempat itu sama sekali rawan. Lingkaran hitam mengelilingi matanya, ia kurang tidur dan sering terbatuk-batuk. Ia hanya berbaring tanpa bisa tidur, sambil mendengarkan langkah kaki orang yang lewat, ia mulai merenungi jalan hidupnya. Ia tidak lagi merasa menjadi wanita hebat. Ia merasa seperti seorang anak kecil, tersesat di kota yang dingin, acuh tak acuh dan menakutkan. Ia mulai menggigil. Kantungnya kosong dan ia lapar. Beberapa jam lalu, ia terpaksa makan dari sisa Pizza yang dibuang orang di tempat sampah. Ia melipat kakinya, dan gemetar di bawah lembaran koran yang ditumpuk di atas mantelnya sambil berharap dapat menelan obat penenang..
Tiba-tiba sesuatu muncul begitu saja di pikirannya, dan satu gambaran terbayang di matanya; bulan Juli yang indah di kampung halamannya, ketika ribuan bunga mekar bersamaan, ia berlarian bersama anjingnya yang mungil. Mengejar bola karet di antara barisan bunga yang harum. “Tuhan, apa yang sedang kulakukan, mengapa aku pergi?” katanya dalam hati, dan rasa perih terasa bagai menghujam jantungnya. “Anjingku di rumah saja makan lebih enak daripada aku sekarang.” Ia menangis dan dalam sekejap ia tahu bahwa tidak ada yang lebih diinginkannya di dunia kecuali pulang. Ia pun menangis dan terus menangis sampai kelelahan memaksanya berhenti.
Keesokan harinya setelah mendapat sedikit rejeki, ia mencoba menelpon ke rumahnya. Tiga sambungan telepon, tiga kali dijawab mesin penjawab. Ia menutup telepon tanpa meninggalkan pesan pada dua kali yang pertama, tapi pada kali yang ketiga ia meninggalkan pesan: “Ayah, Ibu, ini aku. Aku berpikir mungkin aku akan pulang. Aku akan naik bis ke sana , dan aku akan tiba besok menjelang pagi hari. Kalau Ayah dan Ibu tidak datang, yah, mungkin aku akan terus naik bis entah ke mana.”
Perlu waktu sekitar sebelas jam dengan bis dari Jakarta ke Magelang, dan sepanjang jalan ia menyadari bahwa banyak terdapat cacat dalam rencananya ini. Bagaimana kalau orangtuanya tidak menyadari dan melewatkan pesan tersebut? Bukankah seharusnya ia menunggu sampai bisa berbicara langsung dengan mereka? Dan kalaupun mereka ada di rumah, mungkin sekali mereka pun sudah lama menganggapnya mati. Mereka tentu marah besar padanya. Mana mungkin mereka menerima dia lagi atau menganggapnya sebagai anak? Segera ia pun teringat akan segala hal yang ia perbuat dengan berbagai laki-laki di Jakarta dulu.
Pikirannya bolak-balik antara rasa kawatir dan kata-kata persiapan yang ia susun kalau-kalau ia bertemu ayahnya: “Ayah, aku tahu aku yang salah. Aku menyesal. Masih mungkinkah ayah memaafkan aku dan menganggap aku anak?” Ia mengucapkan kata-kata itu dalam pikirannya secara berulang-ulang, kerongkongannya terasa tersumbat bahkan ketika ia sedang melatih kata-kata itu. Sudah bertahun-tahun ia tidak minta maaf pada siapa pun.
Jam demi jam berlalu, sampai ‘Ya Tuhan!’ terminal bis Magelang tinggal beberapa belas kilometer lagi. Ia memejamkan matanya. Air mata menetes, tangannya dingin, perutnya terasa perih, dunia terasa berputar memusingkan di sekelilingnya. Untuk sesaat ia ingin mengubah rencananya tersebut.
Akhirnya bis berbelok memasuki terminal Magelang. “ Lima belas menit ya Pak Bu, setelah itu kita harus berangkat lagi. Lima belas menit saja!” teriak pak supir mengingatkan para penumpang yang hendak turun. Sebagian karena memang sudah harus turun, sebagian lagi sekedar ingin istirahat setelah duduk berjam-jam lamanya.
Yah, dia punya waktu lima belas menit untuk memutuskan langkah hidup selanjutnya. Apa yang akan terjadi dalam lima belas menit ini? Sebelum turun ia sempat bercermin pada kaca lipat kecilnya. Merapikan rambut dan membersihkan noda-noda air mata yang bercampur dengan eye-shadownya. Ia melihat noda-noda tembakau pada giginya, dan ia berharap semoga ayahnya tidak akan memperhatikan hal itu. Kemudian ia pun berjalan ke dalam terminal. Tanpa tahu harus mengharapkan apa.
Tidak satu pun dari puluhan adegan yang pernah ia pikirkan bisa menyiapkan dirinya untuk apa yang dilihatnya. Di sana , di atas kursi-kursi plastik berwarna biru gelap terminal bis, berdiri puluhan saudara, paman, bibi, sepupu, nenek sampai nenek buyut. Mereka semua memakai topi kertas untuk berpesta. Lengkap dengan terompet mereka. Beberapa dari mereka mengusung sebuah spanduk bertuliskan: “Selamat pulang kembali sayang!” Di tengah kerumunan penyambut, muncullah si ayah. Ia terlihat begitu kurus dan bungkuk seolah telah berusaha memikul beban yang terlalu berat baginya. Tapi bola mata ayahnya begitu indah, bersinar-sinar gembira dan basah oleh air mata. Ia memandang sesaat pada adegan yang tak pernah diperkirakan itu, lalu matanya terpejam, menumpahkan air mata yang terasa panas sekali di pipinya. Dadanya menjadi sesak. Ia masih terpejam, ketika tangan-tangan ayahnya merangkul pundaknya dan mendekap wajahnya ke dada bidang si ayah.
Ia pun memulai kata-kata yang telah dilatihnya berulangkali:
“A..a..ayah..(hik), akk..aku tahu..aku..yang..(hik)..sss…”.
Si ayah memotong kata-kata dia: “Ssst..nak. Kita tidak punya waktu untuk itu. Ayo, sayang kita harus pulang segera, nanti kita terlambat untuk menyantap puding coklat buatan ibumu di rumah. Kami sudah menyiapkan pesta bagimu di sana ..” Dan untuk beberapa saat mereka masih berangkulan, menangis.
--oo0O0oo--
Catatan dari penulis:
Siapapun yang membaca tulisan ini tahu bahwa ini bukan tulisan original saya. Dua ribu tahun yang lalu, Yesus pernah menceritakan alur cerita yang sama, inti cerita yang sama, walau dengan detil kebudayaan dan penokohan yang berbeda (Lukas 15:11-22). Dan di zaman ini, Philip Yancey pun telah menceritakan ulang kisah yang luar biasa ini bagi konteks di Amerika.
Saya hanya mengubah sedikit di sana dan sedikit di sini apa yang telah dikerjakan secara luarbiasa oleh Yesus dan Yancey. Saya memakai konteks Magelang dengan gambaran tentang kebun bunga, bulan Juli yang indah serta terminal kota Magelang karena kebetulan saya pernah cukup lama bertugas di sana pada medio era 1990-an sebagai auditor. (Jadi, saya minta maaf jika pada masa sekarang beberapa detil tentang Magelang mungkin telah berubah)
Semoga kisah ini mengingatkan kita pada satu pesan penting yang ingin disampaikan Yesus yaitu:
“Hanya karena kebaikan kasih karunia Allah-lah kita diterima oleh-Nya, bukan karena kebaikan atau prestasi kita.” (Efesus 2:8,9)
Sebab di hadapan Tuhan, kita tidak berbeda dengan anak yang telah melarikan diri itu. Tuhan memberkati.